Selasa, 16 September 2014

Pada dasarnya manusia dilahirkan ke dunia

Pada dasarnya manusia dilahirkan ke dunia ini sebagai mahkluk individu dan mahkluk sosial. Sebagai mahkluk sosial maka manusia membutuhkan hubungan dengan orang lain. Dalam tahap berhubungan dengan orang lain inilah yang dikatakan sebagai interaksi sosial. Dengan demikian interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara individu dan individu, antara individu dengan kelompok dan hubungan antara kelompok dengan kelompok.
Soekanto (2002:45-47) menyatakan bahwa hubungan sosial dipergunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dimana dua orang atau lebih terlibat. Proses sosial tersebut terjadi berdasarkan tingkah laku para pihak yang masing-masing memperhitungkan perilaku pihak lain dengan cara yang mengandung arti bagi masing-masing pihak/individu. Hubungan itu juga terjadi pada organisasi-organisasi sosial seperti negara, gereja, asosiasi perkawinan dan sebagainya. Karena itu, hubungan sosial bersifat transitor atau mempunyai derajat kesetaraan yang berbeda.
Dari pemahaman diatas dapat dilihat betapa rumitnya hubungan sosial, bila harus kita dalami. Individu dalam berinteraksi pasti mempunyai “kepentingan” itulah sebabnya dalam hubungan sosial sering muncul konflik atau ketidak-cocokan satu dengan yang lain, hal ini biasanya diawali dengan prasangka terhadap orang lain karena keinginan seseorang tidak direspon dengan baik oleh teman atau orang yang berhubungan dengannya. Bila hal ini terjadi maka akan terjadi kerenggangan hubungan bahkan mungkin terputusnya hubungan sosial. Terjadinya suatu prasangka dari seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain juga sangat dipengaruhi oleh proses komunikasi yang terjadi diantara mereka. Seperti yang dikatakan oleh Mar’at (1981: 64) “sejauh mana perbedaan yang terdapat dari pesan yang disampaikan dengan yang sudah dimiliki oleh target: yaitu ketidak sesuaian makin besar maka semakin besar pula pengaruhnya”.
Prasangka sosial merupakan sikap (perasaan) orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Hal ini terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain dan memengaruhi tingkah lakunya. Prasangka pada tahap ini hanya besifat perasaan negatif dan lambat laun menyatakan diri dalam tindakan-tindakan diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk dalam golongan yang diprasangka itu. Terkadang tanpa alasan-alasan objektif, si pemersangka kemudian bertindak membentuk wacana dominan yang mendiskriminasi kelompok orang yang kurang/tidak disukainya.
Tulisan ini merupkan selayang pandang dalam merefleksikan pandangan masyarakat “luar” terhadap kehidupan masyarakat pada kawasan Timur Indonesia (khususnya Papua). Dimana masyarakat Papua, tanpa bermaksud untuk mendiskreditkan, telah dikenal masyarakat luas sebagai yang “terbelakang”, karena sikapnya yang keras, tidak/kurang rasional, kurang berpendidikan dan belum berkembang. Namun padangan-pandangan seperti itu tentunya tidak seluruhnya benar.
Papua Sebagai Bagian dari Negara Indonesia
Kawasan paling timur di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Pulau Papua. Daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) khususnya Papua yang sangat kaya akan sumber daya alam ini ternyata terlupakan dalam hal pembangunan. Seperti yang dikatakan Basuebu, mantan Gubernur Irian Jaya / Papua “… dilihat dari jumlah pembangunan, propinsi ini dijuluki sebagai tanah yang terlupakan … Irian merupakan aset Nasional yang agak terbengkalai pembangunannya sekaligus sebagai alat simpanan masa depan dari bangsa ini…” (P.M. Laksono, dkk 1998: 14). Daerah Papua yang kaya akan sember daya alam dengan jumlah penduduk yang relatif kecil ternyata masih hidup dalam garis kemiskinan di atas kekayaan alamnya.
Kekacauan sistem politk, dan sistem ekonomi (pembangunan) di negara ini telah mengakibatkat sebagian daerah khususnya pada Kawasan Indonesia bagian Timur mengalamai ketertinggalan disegala bidang. Sistem ekonomi yang berorientasi pertumbuhan dan mengejar pendapatan perkapita mengakibatkan pembangunan soasial (manusia) menjadi terabaikan. Karena itu, mereka yang mendiami Kawasan Indonesia bagian Barat dengan mudah memberikan penilaian bahwa orang Papua itu kasar, bodoh, hitam, kanibal atau secara umum tertinggal. Jika sudah demikian, maka makna “keadaban manusia” telah terkebiri. Sistem ekonomi dan politik yang salah urus ini telah melahirkan resistensi dari sebagian orang Papua yang dikenal dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), namun anehnya pemerintah malah menuduhnya sebagai tindakan makar dan harus “didekati” dengan kekuatan militer.
Kekuasaan simbolik yang terbaca dalam konsep “dari Sabang sampai Merauke” digunakan untuk menunjukan keseragaman ingatan, pikiran dan kehendak yang memberikan imajinasi tentang pemerataan hasil pembangunan. Namun, fakta berbicara lain. Karena pembangunan nyatanya tidak pernah merata. Ketidak-merataan pembangunan itulah yang mengakibatkan kita hanya akan ‘berjalan’ dari Miangas sampai ke Pulau Rote – minus si bungsu (Timor-Timur) yang telah menjadi anak tunggal NKRI, yang dengan bangga memproklamirkan negara Timor Leste. Jika tidak berlebihan mungkin harus diakui bahwa itulah keberhasilan gemilang dari program pembangunan berwatak kapitalis yang mencederai kearifan lokal masing-masing daerah, karena cirinya yang top down.
Kebudayaan (kearifan lokalnya) orang Papua yang diekspose dengan bermacam cara lewat media, telah menciptakan imajinasi dari mereka yang melihat dan membaca sehingga langsung berprasangka negatif terhadapnya. Sebagai contoh, ‘bentrok antar kelompok’ atau ‘antar warga’ diberitakan menjadi perang suku – yang terminologinya adalah rasialis. Padahal bentrokan yang terkadang terjadi di Papua itu sama saja dengan tawuran-tawuran atau bentrokan yang terjadi pada setiap daerah lain. Terminologi ‘perang suku’ yang digunakan oleh media televisi adalah bermakna rasialis. Hal senada diungkapkan oleh Alfian Pakadang (kontributor Metro TV di Timika) bahwa “itu kesaahan redaksi. Saya tidak memakai istilah perang suku. Ini ketidaktahuan mereka, saya sudah jelaskan bahwa ini bukan perang suku. Ini gabungan-gabungan orang”. Pakadang sendiri tidak mengerti mengapa redaksi Metro masih saja menggunakan terminologi perang suku yang menurutnya sarat rasialis itu. (Cermin Papua, No. 2 Tahun I Februari 2011).
Kesemrautan sistem politik, ekonomi, dan tidak memadainya sarana-prasarana komunikasi dan transportasi dibanding dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI), ditambah lagi dengan ketidakpahaman para redaktur media telah membentuk opini publik yang juga salah kaprah dengan penialan bahwa orang Papua itu kasar, bodoh, keras kepala, pembuat onar, terbelakang, tertinggal dan primitif. Kesalahan dalam menerjemahkan pesan seperti yang diungkapkan Alfian Pakareng di atas, berdampak pada pemerekayasaan pemahaman dan penafsiran yang keliru, atau sengaja dibuat keliru agar masyarakat tetap berprasangka buruk terhadap KTI, khususnya Papua seperti terurai di atas.
Karena salah menginterpretasi fakta sosial, sehingga prasangka masyarakat di luar Papua membenarkan bahwa Papua adalah hanya merupakan bagian dari bisnis KBI atau bahkan sampai hanya sekedar praktek iklan untuk menjual salah satu produk mie instan misalnya. Anehnya, ketika masyarakat Papua menuntut untuk “berdiri sendiri” di luar geopolitik NKRI, Jakarta beramai-ramai menolak, bahkan dengan sedikit genit menawarkan proyek Otonomi Kusus (Otsus), yang faktanya tidak berhasil menyelesaikan permasalahan. Ketidakmampuan pusat dalam mengelola (membangun) daerah itu, berujung pada politik adu domba dengan memecah belah daerah ini menjadi dua propinsi, yakni Papua dan Papua Barat. Sampai kapan sandiwara politik atau politik sandiwara ini akan berakhir? Hanya Tuhan dan Dortheys Hiyo Eluay yang tahu.
Memahami Prasangka
A.M. Rose dalam brosur unesco, the roots of prejudice 1951, mengungkapkan bahwa prasangka sosial digunakan untuk mengeksploitasi golongan-golongan lainnya, demi kemajuan perseorangan atau golongan sendiri. Baginya prasangka sosial disebabkan oleh faktor-faktor ekstern pribadi orang tapi terdapat pula beberapa faktor intern dari pribadi orang yang mempermudah terbentuknya prasangka sosial padanya. Pribadi yang mempermudah bertahannya prasangka sosial pada padanya, antara lain pada orang yang berarti tidak tolerans, kurang mengenal akan dirinya sendir, kurang berdaya cipta, tidak merasa aman, dan memupuk khayalan-khayalan agresif, (Rose dalam W A Gerungan, 1996: 174-176).
Hal ini berarti prasangka adalah dugaan-dugaan yang memiliki nilai negatif, namun dapat pula ini bersifat positif, tergantung pada orang yang menginterpretasikan suatu fenomena dan berprasangka. Namun untuk menertibkan arti terhadap suatu dugaan akan terlihat pada umumnya mengarah pada penilaian yang negatif. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa orang akan menilai / berprasangka negatif ketiak melihat suatu etnik (Papua) yang masih menggunakan berpakaian daerah (koteka) maka akan muncul prasangka negatif bahwa orang Papua tidak menghargai pakaian modern, tidak berpendidikan, tidak sopan dan dapat mungkin dikatakan kanibal serta ditertawakan. Tapi orang atau kelompok luar tersebut tidak melihat bahwa itu adalah budaya dan ciri khas atau identitas orang Papua yang perlu dipertahankan dan dilestarikan.
G.W. Allport mengatakan bahwa prasangka bersifat “Thinking ill of the others”, terlihat didalamnya peranan-peranan negatif misalnya penghinaan, ketidaksukaan, kebencian yang semuanya menunjuk pada sikap antipati (dalam Mar’at, 1981:117). Bila dikaikan dengan definisi prasangaka, maka dapat dikatakan sumber dari prasangka adalah pendapat masyarakat yang tidak berdasarkan pengalaman, sangat subjektif dan terburu-buru, diputuskan dan dijadikan konsep sebagai suatu persepsi sosial yang kita percayai sepenuhnya.
Prasangka Terhadap Orang Papua
Hubert Bonner membagi tiga sumber terbentuknya prasangka yakni historical knowladge, data etnologi dan social learning, (dalam Mar’at 1981: 117-118). Yang disebut pertama adalah sebagai contoh prasangka antipati dari orang kulit putih terhadap orang negro, merupakan sumber prasangka melalui prasejarah sekitar 300 tahun lalu. Hal itu dirasakan jelas untuk memperbandingkan keadaan di Indonesia. Kata sakti dari Sabang sampai Merauke yang memperkenalkan masyarakat Indonesia adalah yang berwarna kulit sawu matang. Kenyataanya, tengoklah daerah KTI khususnya Papua, perbedaan yang cukup mencolok adalah dari warna kulit. Memang hal ini tidak dipermasalahkan oleh Sukarno ketika dengan gigihnya berusaha memasukan Irian Barat (Papua) ke dalam geopolitik Indonesia. Namun bila di dalami fakta sejarahnya sampai dengan hari ini, masih saja ada prasangka dari kelompok KBI yang melihat orang Papua sebagai orang ‘lain’.
Majalah Cermin Papua Edisi Februari 2011, memuat sebuah kisah (tindakan) sangat tidak terpuji yang dilakukan oleh seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang menulis distatus fecebook-nya pada 3 Mei 2010 bahwa“Dasar orang Papua, biasanya tarkam, pake otot bukan pake otak maen bolanya, ga sekolah, bodo2 semua, uda itam idup lai. Sialan lu Papua”!. Tulisan ini dibuat karena kekesalannya melihat klub sepakbola Persib Bandung ditaklukan oleh Persipura Port Numbay. Tindakan itu menyulut protes keras dari Ikatan Mahasiswa Papua di Bandung, hasilnya mahasiswa tersebut dikenakan sanksi skors tiga semester. Menarik dicermati tulisan pada salah satu poster yang dibawah oleh Mahassiwa Papua dalam aksinya, yakni “Selama Anak-Anak Kandung Pertiwi Masih Rasis, Selama Itu Pula Bumi Pertiwi Indonesia Berjalan Ditempat”. Tulisan ini bagi saya adalah ungkapan kesadaran yang tinggi tentang nilai kemanusiaan dan persatuan – Pancasila – ungkapan itu harusnya menjadi cambuk bagi semua orang yang mengaku diri warga negara Indonesia, terutama para elit untuk bercermin dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Kalau yang mahasiswa saja sudah bertindak demikian jauh dengan tidak menghargai HAM bagaimana yang bukan ‘maha’?
Dari keadaan diatas ditambah lagi dengan pembangunan yang tidak pernah dipikirkan untuk daerah ini, transportasi dan komunkasi yang sulit membuat Papua seperti “dianak tirikan”. R C. Bone pernah mengatakan “… daerah ini adalah daerah yang terlupakan, yang hanya berguna sebagai benteng terhadap gangguan asing, sebagai tempat untuk tamasya, atau untuk hukuman tugas bagi pegawai sipil yang melanggar disiplin” (dalam P.M. laksono dkk, 1998:14).
Sumber prasangka yang kedua dari Hubert adalah data etnologi, perasaan etnosentrisme dan isolasi kebudayaan. In group merasa di luar dan menutup kontak dengan dunia luar sehingga terbentuklah kelompok sentimen dan menentukan kekompakan sosial yang disertai dengan norma-norma loyalitas terhadap kelompoknya sendiri. Orang luar dianggap sebagai yang dapat membahayakan.
Sumber prasangka ini dapat pula digunakan untuk melihat masyarakat Papua dengan orang luar. Hanya saja dalam sumber ini, prasangka terjadi pada dua kelompok tergantung dari sisi mana kita menilai. Pertama dari sisi masyarakat Papua akan menutup diri terhadap masyarakat “luar” sebab bagi mereka orang luar yang masuk akan merusak “dunia” mereka. Asumsi ini misalnya nyata ketika bergulirnya kebijakan otsus, wacana yang muncul kepermukaan adalah masalah putra daerah –walaupun wacana ini tidak dimonopoli oleh Papua, karena hampir semua daerah otonomi menerapkan kebijakan (putra daerah) yang tidak ‘seksi’ ini.
Kedua, masyarakat yang bukan Papua akan berprasangka negatf terhadap orang Papua ini “karena mendengar ceritra atau membaca teks (dengan tambah kurangnya) tentang hal-hal yang dirasakan menjijikan dan tidak biasa. Misalnya suku Biak-Numfor yang dalam ritual K’bor biasa mencampur darah dari sayatan kulit alat kelamin anak laki laki dengan makanan, lalu campuran itu dibagi-bagikan kepada kerabat perempuannya untuk dimakan” (P.M. Laksono, 1998). Prasangka ini bisa muncul karena makna dari ritual tersebut tidak kita ketahui.
Namun bagi orang suku Asmat yang sangat menghargai persetubuhan seksual, misalnya dalam seni patung mereka, alat kelamin tentu menjadi suatu simbol yang efektif, komunikatif, dan operatif ketika harus menghadapi kenyataan hidup sehari-hari mereka. Namun orang lain mugkin akan tetap berprasangka negatif karena mengintrpretasikan perbuatan kelompok ini sebagai sesuatu yang “kotor dan menjijikan”. Persetubuhan yang sangat dihargai itu ternyata dirusak oleh orang-orang pendatang sehingga menimbulkan penyakit yang mematikan seperti, termuat dalam surat kabar harian terbitan Yogya (Bernas 17 November 1996) yang memuat judul “Jeritan AIDS dari Merauke”. Berita itu lebih memperkuat lagi prasangka orang luar bahwa praktek seksual yang dilakukan ternyata kotor, dan hal ini tentunya akan menurunkan nilai suatu budaya.
Hal lain yang terjadi adalah dengan adanya beragam benda keramat dan upacara khas yang dimiliki suku-suku di Papua, selama ini hanya dikaji dan dimanfaatkan “nilai tambahnya” oleh masyarakat modern yang terlanjur akrab dengan ekonomi uang, politik birokrasi, peperangan bersenjata otomatis dan penghajaran moral agama puritan, sehingga menambah deretan prasangka negatif dari masyarakat luar dengan menganggap masyarakat Papua adalah orang yang terbelakang, bodoh dan kurang berpendidikan serta belum berkembang dan masih sangat primitif karena tidak dapat mempertahankan apa yang dimilikinya ketika disalahgunakan oleh orang lain.
Sumber prasangka ketiga adalah social learning. Sumber prasangka ini dapat dipelajari melalui penghayatan dan bentuk generalisasi terhadap kebutuhan-kebutuhan yang sesungguhnya belum terbukti sepenuhnya. Sejak kecil akan ditanamkan terhadap suatu sentimen yang akhirnya merupakan konsep prasangka tertentu, misalnya terhadap etnic

group. Hal ini dapat saja terjadi pada saat ini, seorang anak ataupun pemuda tidak suka bergaul atau berteman dengan orang Papua, lebih lagi masyarakat KBI khususnya orang Jawa yang tinggal dan besar ditanah kelahirannya. Kenyataan itu dapat terjadi sebab budaya yang dimiliki kedua daerah yang mewakili Sabang dan Merauke itu berbeda. Hal ini menimbulkan persepsi orang Jawa terhadap orang Papua, bahwa mereka bersifat sangat keras kepala, suka berbuat keonaran, suka mabuk dan lain sebagainya (beberapa kasus yang terjadi di Salatiga kiranya memperkuat argumentasi ini). Namun apakah hal itu suatu kebenaran, belum terbukti sepenuhnya.
Masalah ini dapat teramati secara langsung pada salah satu Universitas yang dikenal sebagai Indonesia Mini, ada begitu banyak group etnik, bahkan dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai ke Timor Leste, hadir dalam ruang publik Salatiga. Nuansa pertemanan antar etnik dapat diamati. Mulai dari cara bicara, dialek yang digunakan, sampai pada pola pergaulan mereka setiap hari. Faktanya terdapat group-group atau paguyuban-paguyuban yang suka (dan sudah) membedakan dirinya untuk berinteraksi, dengan group lain. Dalam prestasi belajar juga terdapat perbedaan antara beberapa mahasiswa Papua (tidak bermaksud menggeneralisasi) dan yang bukan. Walaupun sarana yang dipergunakan sama. Khusus untuk hal terakhir ini, memang faktor yang melatarbelakanginya bisa bermacam-macam. Namun, biasanya orang lain beranggapan bahwa orang Papua itu kurang pandai, dll.
Bukan merupakan rahasia umum lagi bahwa masyarakat dunia juga telah berprasangka negatif terhadap Indonesia secara umum karena tidak mampuh membangun daerahnya sendiri, sehingga ada masyarakat seperti KTI pada umumnya dan Papua pada khususnya yang sangat tertinggal, dan ada yang sudah modern (KBI) khususnya daerah Jawa atau pusat (Jakarta). Bukan rahasia pula untuk konsumen turisme atau hal-hal lain yang terkait, sejak beberapa tahun terakhir ini dijual buku dan postcard dengan foto laki-laki dan perempuan Papua yang lengkap dengan pakaian yang masih sangat sederhana. Sangat masuk akal bahwa penonton atau pembeli foto itu (yang juga mempunyai tubuh dan nafsu yang sama) akan “ingat untuk lupa” bahwa dirinya sudah tidak lagi tampil seperti yang “dari Papua” tersebut. Disini pengaruh budaya global yang berorientasi pasar, hedonis dan materialistis, telah mendistorsi berbagai sistem nilai budaya. Kreativitas seni yang semula menjadi wahana mengasah cipta, karsa dan rasa atau sebagai wahana estetika untuk kepuasan batin si pemilik atau sebagai kearifan lokal, kini telah dikomersialisasikan, dijadikan komoditas pasar untuk meraup uang semata.
Tentu saja prasangka imajinatif dari manusia modern membawanya pada suatu kesadaran yaitu betapa majemuknya manusia di dunia ini. Kesimpulannya semua orang hanyalah sesama makhluk ciptaan, yang perlu lahir, kawin, bekerja dan mati. Akan tetapi bukankah justru imajinasi dalam arti tertentu pengetahuan rekaan itulah yang akan meyakinkan setiap manusia modern “bukan KTI” atau “bukan Papua” untuk berani dan mampu mengutarakan kata-kata bahwa akhirnya “kita yang ada di sini sesungguhnya adalah bukan yang sama dengan mereka yang ada di sana”.
OPM: Akibat Pembangunan Yang Tidak Merata
Berbicara keterbelakangan, sebenarnya bukan hanya kasus KTI khususnya Papua yang mengalami hal ini, hampir semua daerah dalam negara ini masih dikatakan terbelakang, sebab hal ini berkaitan dengan pembangunan ekonomi yang salah urus. Bukan hanya keadilan, “pembangunan telah menjadi kata kunci bagi segala hal” –itulah yang diajarkan Orde Baru. Secara umum kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama adalah kemajuan material, maka pembangunan sering kali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi, (Arief Budiman, 200:1). Namun karena tulisan ini bertemakan pada daerah Papua dan masyarakatnya maka yang akan dilihat hanyalah daerah ini.
Presiden Soeharto yang berpengalaman membangun Kawasan Indonesia secara modern lebih dari tiga puluh tahun sempat mengatakan bahwa “kalau hanya mencapai keadilan saja, saya katakan mudah, tapi kalau mencapai kemakmuran semua rakyat ini sangat sulit, karena harus membangun, dan ini tidak bisa dilaksanakan sekaligus tapi secara bertahap” (Benas 1 Maret 1997). Akibat terlalu bersemangat dan berhati-hati menjalakan Lima Tahap Pembangunan Ekonomi ala Rostow, maka setahun setelah Soeharto mengatakan hal itu, ia pun diturunkan dengan tidak hati-hati. Selain itu, mungkin karena Papua adalah provinsi yang letaknya paling jauh dari pusat dan berada pada posisi kedua dari terakhir dalam hitungan provinsi-provinsi di negara ini – sebelum Timtim lepas, maka pembangunan yang bertahap menurut Soeharto itu dapat langsung ditebak bahwa Papua adalah daerah yang masuk dalam kategori kedua dari terakhir untuk dibangun. Mungkin karena itu pula, Timor-Timur “berpamitan” karena tidak sanggup menunggu pembangunan yang dalam hitungan ala Orde Baru posisinya setelah Papua.
Gereja mungkin muak dalam melihat keterbelakangan masyarakat Papua ini, karena itu dalam Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja (Protestan) di Indonesia yang diadakan pada tahun 1994 di Jayapura diarahkan pada pembahasan tentang perlunya perubahan pola pikir dari biar miskin asal masuk surga menjadi pentingnya pelipatgandaan talenta untuk dinikmati manusia. Teologi yang dikembangkan bukanlah teologi lazarus yang miskin, melainkan teologi pelipatgandaan talenta” (kompas 19 /11/1994). Tema yang Sidang yang diangkat oleh Gereja ini tentunya bukan tanpa alasan, karena faktanya Papua kaya akan sumber daya alam, tapi rakyatnya miskin –atau sengaja dimiskinkan. Permasalahannya, gereja bukan sebuah lembaga ekonomi yang mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan dan keterbelakangan di Papua, walaupun demikian suara kenabian yang dirintis ini perlu didukung.
Daerah yang kaya akan sumber daya alam ternyata telah terdiskriminasikan, karena warganya hidup di dalam keterbelakangan dan serba kesusahan. Akibat dari ketidakadilan itu, muncullah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang ingin menggeser imajinasi terhadap apa yang disebut “dari Sabang sampai Merauke” menjadi “dari Sorong sampai Numbay”. Ironisnya, ABRI sebagai wakil dari modernisme harus bertempur melawan gerilyawan OPM yang merupakan produk dari modernisme. Karena itu menjadi jelas jika prasangka teror, ancaman atau keberingasan kaum pribumi yang tradisional, liar, irasional dan “bukan orang sekolahan” menjadi jelas untuk mencirikan masyarakat Papua yang sebanarnya belum terbukti sepenuhnya. (P.M. Laksono, dkk, 1998:19-20). Anehnya lagi organisasi yang mengusung ideologi kebebasan berbasis kearifan lokal (Papua) itu malah diwacanakan sebagai hanya Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Wacana GPK sebenarnya akal-akalan yang dirancang Orde Baru guna menggiring orang Papua bangkit melawan saudaranya sendiri. Atau, kalau mau disamakan maka wacana GPK itu hanya bertujuan “jeruk makan jeruk”.
John R.G Djopari dalam bukunya Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (1993:164) menyatakan bahwa gerakan protes massa rakyat seperti yang dilakukan oleh OPM “dapat terjadi karena integrasi politik di Irian Jaya kurang mantap, Dia bahkan berkesimpulan bahwa panglima ABRI yang mampu mempopulerkan nasionalisme (misalnya, Jend. Acub Zaenal) atau memanfaatkan pendekatan cintakasih kristiani (misal Jend. Meliala Sembiring adalah Jenderal-jenderal ABRI yang terbukti mampu menghasilkan kemantapan. Tema-tema komunikasi politik yang tepat demi program pembangunan – menurut Djopari –adalah ketertinggalan dan keterbelakangan bukan kemiskinan, penderitaan dan tekanan”. Akibat dari kesalahan pendekatan yang digunakan itulah membuat munculnya prasangka negatif terhadap daerah Irian dan masyarakatnya.
Kata Akhir
Kata “sakti” dari Sabang sampai Merauke yang digunakan untuk memperkenalkan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap di junjung tinggi, walaupun sekarang kita hanya akan ‘berjalan’ dari Miangas sampai ke Pulau Rote. Untuk itu kalimat ini harus diimplementasikan dalam bentuk pembangunan yang merata agar tidak terjadi diskriminasi yang menimbulkan prasangka negatif dari masyarakat luas terhadap daerah tertentu, (KTI khususnya Papua) yang kurang “tersentuh” sehingga menimbulkan prasangka terbelakang, ketertinggalan, bodoh, irasional, tidak berpendidikan dan sebagainya.
Prasangka akan muncul karena dua sebab yakni faktor eksternal, di mana satu orang atau sekelompok orang kurang diperhatikan dalam satu sistem yang besar (Negara) sehingga memunculkan prasangka negatif dari kelompok lain. Faktor kedua adalah faktor internal yang ada dalam diri seseorang atau kelompok. Proses terbentuknya prasangka ini merupakan prasangka sosial yang memiliki konotasi negara antara mereka mayoritas dan yang minoritas. Dalam hubungan ini dugaan sementara terhadap sesuatu yang membentuk informasi mengenai struktur dari pada argumentasi, perlu didukung data/fakta yang kuat sebelum terjadi suatu prasangka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar