Senin, 15 September 2014

"Reaktif" karena Pragmatisme Politik Papua Merdeka

Dalam catatan baru lalu menyinggung warna sporadis dan reaktif yang ditunjukkan bangsa Papua dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Dua topik menyusul topik lain "faksionalisasi" dalam perjuangan Papua Merdeka yang telah saya tulis beberapa tahun lalu. Sekarang saya mau singgung tentang perjuangan "reaktif" yang disebabkan oleh politik Papua Merdeka yang sangat pragmatis.

Menurut Wikipedia.org,
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.

Pragmatisme dalam Papua Merdeka ialah akibat dan hasil yang secara praktis dirasa bermanfaat. Apa yang dianggap bermanfaat dalam perjuangan Papua Merdeka dari sisi hasilnya? Apakah hasilnya itu bermanfaat bagi bangsa Papua atau pribadi lepas pribadi kita yang terlibat dalam perjuangan ini?

Kebanyakan pragmatisme politik Papua Merdeka berangkat dari "manfaat yang dapat dipetik oleh masing-masing pribadi atau kelompok perjuangan Papua Merdeka", terlepas dari kepentingan bangsa dan tanah Papua sebagai sebuah keutuhan yang satu. Pragmatisme ini saya sebut "pragmatisme sempit", karena ia sesempit kelompok dan individu yang memandangnya sebagai "penting".

Dari kutipan ini kita lihat lawan dari pragmatisme ialah "kebenaran obyektif dari pengetahuan penting". Pragmatisme politik Papua Merdeka jelas 'head-to-head" bertentangan dengan slogan Papua Merdeka yang selama ini terdengung, terutama slogan Papua Merdeka News (papuapost.com), yaitu Bersuara Karena & Untuk KEBENARAN!. Kebenaran yang dimaksud di sini bukan kebenaran milik-ku dan milik-mu, bukan kebenaran "kita" dan kebenaran "mereka", tetapi "kebenaran itu sendiri secara terpisah dari siapapun". (Silahkan rujuk ke papuapost.com/about-us.html") Kebenaran yang dimaksud di sini ialah kebenaran yang "obyektif".

Dalam politik Papua Merdeka, kita harus mengidentifikasi dan mengenal "kebenaran obyektif" yang mengharuskan kita berkewajiban untuk berdiri dengannya atau dalam istilah awam "membela"nya, walaupun saya tahu kebenaran tidak perlu dibela dan tidak butuh dibela, tidak pernah meminta siapapun untuk membelanya. Berdasarkan "kebenaran obyektif" yang kita tahu itulah, maka kita masing-masing menempatkan diri, berpihak kepada "kebenaran obyektif" atau kepada "pragmatisme".

Banyak orang Papua lebih "reaktif", dan karena itu hidup lebih pragmatis. Misalnya banyak orang Papua memilih "cari aman", "cari nyaman", yaitu dengan cara "tidak berteriak Papua Merdeka" tetapi dalam hatinya dongkol dan mencaci-maki orang Indonesia atau negara Indonesia; yang di dalam gereja misalnya mendoakan pemerintah NKRI, tetapi di dalam doa pribadi di kamarnya mengutuk NKRI dan pemerintahnya.

Banyak orang Papua begitu pragmatis, sehingga mereka katakan "lebih baik kita membangun. Itu lebih penting daripada berteriak merdeka, karena itu menyiksa rakyat saja". Mereka juga bilang, "Papua harus dibangun menjadi sejahtera dan makmur supaya orang Papua tidak minta merdeka lagi!" Ini suara orang Papua yang pragmatis, ya daripada lari-lari ke hutan, daripada dikejar-kejar TNI/ Polri, lebih baik cari aman, yang pragmatis saja, kita cari aman, tetapi di dalam kita berdoa kepada Tuhan kiranya Dia memberikan jalan keluar sesegera mungkin.

Orang pragmatis kelihatan seperti orang munafik, tetapi sebenarnya tidak, karena mereka hanya menanggapi apa yang nampak, real dalam kehidupan saat ini, bukan cita-cita, bukan prinsip, bukan nilai-nilai yang obyektif.

Banyak pejuang Papua Merdeka yang selalu buat pernyataan politk, bergerak dengan kecepatan tinggi pada saat negara lain, terutama NKRI berada dalam kondisi tertentu, misalnya dalam kondisi krisis atau musibah, maka mereka bangkit bergerak dengan lebih cepat untuk memanfaatkan peluang kalau itu akan muncul. Mereka juga bergerak pada masa dan waktu tertentu, menanggapi apa yang terjadi di dalam negeri. Orang Papua seperti ini sebenarnya tidak punya rencana kerja yang tertulis, apalagi strategis. Mereka hanya tunggu larut dalam kesibukan sehari-hari sebagai manusi, lalu begitu tersiar kabar tentang peristiwa di dalam negeri Indonesia maupun Papua, maka mereka bergerak atas nama ini dan itu, terbang ke sana-kemari mengumpulkan ini dan itu. Inilah yang kita sebut "pragmatisme yang reaktif", tidak strategis, tidak berdasarkan sebuah nafas dan roh perjuangan yang obyektif.

Dampak dari pragmatisme perjuangan Papua Merdeka ialah seperti yang kita alami sejauh ini: yang berjuang dan yang diperjuangkan tidak jelas dan tidak tegas. Kita hanya bergulat dalam pragmatisme politik, petik untung, petik buah dari garapan orang lain atau umpan pihak lawan. Inilah yang saya sudah berulang-kali sebut dalam buku-buku saya, di tanah Papua ada dua jenis politik, yaitu pertama, politik buru-pungut, dan kedua, politik tanam-pungut. Politik buru-pungut ini mengikuti cara hidup dan filsafat "hunter-gatherer", sementara yang satunya mengikuti cara hidup dan filsafat "farming yang bercirikan self-reliance".

Politik Papua Merdeka sejauh ini berujung kepada realitas "saya jadi presiden, saya jadi perdana menteri, organisasi kami namanya A,B,C,D..."

Politik Papua Merdeka tidak memiliki roh, warna pembeda, walaupun nafasnya jelas, bebas, terlepas dari NKRI dan berdaulat. Tetapi "roh"nya apa, warna pembedanya apa? Apakah para pejaung Papua Merdeka berusaha menghidupkan "roh" dan mengecat "warna" itu, ataukah sekedar pragmatis, mencari nama, identitas dan kedudukan? Apalagi lebih parah, hanya sekedar mencari makan?

Semua orang tahu, politik nyatanya pragmatis, demikian paling tidak tergambar dari partai politik NKRI: PDI-P, Demokrat, PKB, PKS, Golkar, dan lainnya. Istilah-istilah ini begitu buzzing di telinga kita, "tidak ada makan siang gratis", "politik selalu dinamis", dan "tidak ada kawan sejati dalam politik", yang menunjukkan seolah-olah politik itu sangat pragmatis.

Padahal tidak! Dan terutama ideologi politik nasionalisme tidaklah pragmatis, ia sangat idealis. Nasionalisme Indonesia: satu bangsa, satu tanah air, satu bangsa saja masih idealisme yang belum terwujud sampai hari ini. Sampai hari ini tidak ada orang yang berani menyebut dirinya "Saya 100% orang Indonesia!" karena masing-masing orang Indonesia masih merasa, "Saya orang Batak!", "Saya orang Jawa!", "Saya orang bugis", dsb. "Indonesia" hanyalah sebuah negara, bukan sebuah bangsa, itu fakta saat ini, bukan idealismenya.

Demikian pula dengan politik Papua Merdeka. Di luar dari pragmatisme yang ada, kita perlu memiliki sebuah idealisme, yaitu pemikiran-pemiliran obyektif, untuk meraih kebenaran yang obyektif. Dengan menempatkan 'kebenaran obyektif" itu sebagai cita-cita luhur kita, maka masing-masing kita, Saya dan Anda, kita semua, harus berani MELEPASKAN DIRI dari merasa berjasa, merasa penting, merasa berperan utama, merasa ego di dalam setiap apa yang kita lakukan, di manapun kita berada, apapun yang kita pikirkan dan perbuat.

Cara melepaskan diri dari pragmatisme Politik Papua Merdeka ialah
  • Pertama, melepaskan "ego ini", "self ini" , "aku ini" dari "kebenaran obyektif", karena pada saat ego, self dan aku menonjol, maka kebenaran obyektif menjadi tersingkirkan dan yang mengemuka ialah pragmatisme;
  • Kedua, meninggalkan budaya "reaktif" terhadap apa yang terajdi di dunia ini, dan berjuang secara terprogram, terencana, terpola, dan berdasarkan pemikiran-pemikiran strategis.
  • Setelah itu, ketiga, mendukung apa saja yang dilakukan oleh bangsa dan tokoh Papua Merdeka, tanpa mempertanya-jawabkan "Apa untungnya buat saya, buat kami?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar